Sabtu, 28 April 2012

Ilmu hadits



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu hadits (‘Ulum Al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadits. Kata ‘ulum adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm (ilmu). Secara etimologis, yakni ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW. dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan ke-‘adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.[1]
Secara garis besar, ulama hadits mengelompokkan ilmu hadits tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadits riwayah  dan ilmu hadits dirayah. Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW., periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya. Sedangkan ilmu hadits dirayah yakni ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan.[2]
Dalam perkembangannya, dari dua bagian itu, muncul beberapa cabang ilmu hadits yang oleh para ulama disendirikan dalam pengkajiannya, obyek yang dibahas ada yang berpangkal pada sanad , ada yang pada matan , dan yang berhubungan dengan keduanya.[3]
Oleh karena itu, dalam makalah kali ini akan dibahas mengenai salah satu cabang ilmu hadits yang berpangkal pada sanad yakni ilmu al jarh wa Ta’dil. Kita akan membahas apa pengertian ilmu tersebut, tingkatan-tingkatan al jarh maupun ta’dil, serta prinsip-prinsip penerapan ilmu al jarh wa ta’dil.

B.    Rumusan Masalah
1.   Apa pengertian ilmu Al jarh wa ta’dil?
2.   Bagaimana Sighat dan Tingkatan Al-Jarh?
3.   Bagaimana Sighat dan Tingkatan At-Ta’dil?
4.   Bagaimana Prinsip-prinsip penerapan ilmu al jarh wa ta’dil?
C.    Tujuan dan Manfaat
1.   Mengetahui pengertian ilmu Al jarh wa ta’dil.
2.   Mengetahui  Sighat dan Tingkatan Al-Jarh.
3.   Mengetahui  Sighat dan Tingkatan At-Ta’dil.
4.   Mengetahui  Prinsip-prinsip penerapan ilmu al jarh wa ta’dil.























BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Kalimat Al-Jarh wa At-Ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu al-jarh dan al-adl.[4] Jarh menurut bahasa artinya melukai.[5] Ilmu Al-Jarh, yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadist mendefinisikan Al-Jarh dengan:

“Kecacatan para perawi hadist disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi”[6]
Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.[7]
Sedang At-ta’dil, yang secara bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan).[8] Berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang yang adil berarti orang yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif. Adapun secara terminologi, al-adl berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan agama dan keperwiraannya.[9]
Ulama lain mendefinisikan al-jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:

“Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadist dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.[10]
Lafazh al-jarh, menurut Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehapalannya. Men-jarh atau mentajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadist yang membahas cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadist yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya.[11]
Ilmu jarh wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik adanya aib (cacat) atau memberikan pujian pujian adil kepada seorang rawi.
Dr. 'Ajjaj al-Khathib mendefinisikannya sebagai berikut :
هُوَ الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِي أَحْوَالِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ قَبُوْلِ رِوَايَتِهِمْ أَوْ رَدِّهَا
“Adalah suatu ilmu yang membahas perihal para rawi dari segi-segi diterima atau ditolak periwayatannya.”[12]

B.    Sighat dan Tingkatan Al-Jarh
Jarh yang terdapat dalam kitab-kitab Rijalil-Hadist dan sebagainya, dibagi menjadi 3 macam:
1.     Jarh yang tidak beralasan
2.     Jarh yang tidak diterangkan apa yang menyebabkan si rawi tercela. Dengan ringkas boleh dikatakan: Jarh yang tidak diterangkan sebabnya.
3.     Jarh yang disebut sebabnya.[13]
Yang pertama ini adalah: “jarh yang tidak beralasan”.
Tiap-tiap jarh yang ditujukan kepada seorang rawi, hendaklah ada alasannya, dari perbuatan atau omongan si rawi, atau dari jalan lain.
Ulama yang menjarh seorang rawi dengan tidak menyebut alasannya, tentu bagi ulama itu ada alasannya sendiri. Alasan yang menyebabkan ia menjarh seorang rawi, belum tentu jadi alasan bagi orang lain, karena ada banyak orang menjarh rawi, tetapi sebenarnya apa yang mereka tunjukkan itu bukan jarh.
Oleh sebab yang tersebut itu semua, maka jarh yang tidak disebut alasannya, masih gelap bagi kita. Jadi jarh yang tidak disebut alasannya, atau jarh yang masih gelap, belum dapat diterima dan dianggap untuk melemahkan si rawi.
Kritikus hadits ternama , Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya “al jarh wa ta’dil” awalnya hanya membagi tingkatan jarh dan ta’dil ini masing-masing kedalam 4 (empat) tingkatan , beliau sertakan pula penjelasan hukum dari masing-masing tingkatan itu. Kemudian para ulama hadits setelah beliau, menambahkan 2 (dua) tingkatan lagi sehingga menjadi 6 (enam) tingkatan. 
Tingkatan Al-jarh:
1.     Tingkatan Pertama
Yakni  penilaian yang menunjukkan keterlaluan dalam berdusta , dan ini merupakan tingkatan paling buruk, seperti bila periwayat hadits disifati dengan  "فُلَ ا نٌ أ كْذَ بُ النَّا سِ "   (Fulan orang yang paling pembohong) atau  
" اِلَيْهِ المُنْتَهَى فِيْ الكَذِ بِ"
(ia adalah puncak kedustaan) atau   " هُوَ رُكْنُ الْكَذِ بِ "  (dia adalah rukun kedustaan) , dan sebagainya.
2.     Tingkatan Kedua
Yakni penilaian yang menunjukkan seorang perowi berdusta atau memalsu hadits dan sebagainya, seperti  " فُلَ ا نٌ كَذَّابٌ" (Fulan tukang bohong), atau   " دَجَّا لٌ" (dajjal/pembohong), atau  "وَضَّاعٌ "  (pemalsu hadits), atau dengan redaksi "يَكْذِ بُ"  (dia berbohong), atau  "يَضَعُ"(dia memalsukan hadits).
3.     Tingkatan Ketiga
Yakni penilaian yang menunjukkan tuduhan pembohong atau pemalsu hadits seperti " فُلَ نً مُتَّهَمٌ بِا لْكَذِ بِ " (Fulan dituduh berdusta), atau " مُتَّهَمٌ بِا لوَ ضْعِ " (dituduh memalsukan hadits), atau  "يَسْرُ قُ الحَدِ يْث "(mencuri hadits) atau  " سَا قِطٌ "(gugur) atau" مَتْرُوْ كٌ  "   (ditinggalkan), atau" لَيْسَ بِثِقَةٍ "  (bukan orang yang tsiqoh).
4.     Tingkatan Keempat
Yakni penilaian yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya , seperti bila perowi disifati dengan " فُلَ نٌ ضَعِيْفٌ جِدًّ "  (Fulan lemah sekali) atau " لَ يُكْتَبُ حَدِ يْثُهُ " (tidak dapat ditulis haditsnya) atau " لَ تَحِلُّ الرِّ وَا يَةُ عَنْهُ " (tidak halal periwayatan darinya).
5.     Tingkatan Kelima
Yakni penilaian yang menunjukkan secara tegas bahwa seorang perowi tidak dapat dijadikan hujjah, atau dinilai lemah , atau buruk hafalan dan yang serupa, seperti "  " فُلَ نٌ لَ يُحْتَجُّ بِهِ(Fulan tidak bisa dibuat hujjah), atau" لَيْسَ بِقَوِ يٍّ "  (tidak kuat), atau  " ضَعَّفُوْ فُ "(para ulama melemahkannya), atau " لَهُ مَنَا مَنَا كِيْرٌ "  (padanya banyak pengingkaran), dan yang semisal.
6.     Tingkatan Keenam
Yakni penilaian yang menunjukkan adanya kelemahan, lunak atau rendah seperti apabila seorang perowi disifati dengan " فُلَ نٌ لَيِّنُ الْحَدِ يْثِ " (Fulan lemah haditsnya) , atau " فِيْهِ مَقَا لٌ " (dirinya diperbincangkan) , atau  " فِيْهِ ضَعْفٌ "(padanya ada kelemahan) dan yang semisal.
Ini merupakan bentuk jarb yang paling ringan, Ibnu Abi Hatim berkata : “ Apabila para ulama menilai seseorang dengan” Layinnul Hadist” ( hadisnya lemah ), maka ia termasuk orang yang masih bisa ditulis hadistnya dan dapat digunakan sebagai I’tibar”. Sementara ad Daroquthni – salah satu tokoh yang menyusun tingkatan ini mengatakan : “ Jika seseorang dinyatakab “ layyin “ maka ia bukan termasuk perowi gugur yang harus ditinggalkan hadistnya, melainkan ia dinilai cacat dengan sesuatu yang tidak sampai menggurkan sifat ‘adilnya”
Catatan.
ü  Untuk empat tingkatan pertama ( No. 1- 4 ), hukum hadis yang mereka riwayatkan tidak dapat dijadikan hujjah, tidak boleh di tulis dan tidak dianggap sama sekali.
ü  Sedangkan untuk tingkatan kelima dan keenam, hadis – hadis yang diriwayatkan oleh perowi yang tergabung dalam tingkatan itu, juga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, akan tetapi boleh ditulis untuk sekedar dibuat I’tibar.

C.    Sighat dan Tingkatan At-Ta’dil
1.        Tingkat pertama
Yakni penilaian dengan menggunakan bentuk superlatif ( mubalaghoh ) dalam pen-tsiqqo-annya, atau ungkapan yang menggunakan wazan af’alan, seperti jika seseorang perowi  disifati dengan فُلَ نٌ اِ لَيْهِ المُنْتَهَى فِيْ التَثَبُّتٍ " " ( Fulan, kepadanyalah puncak keteguhan ), atau " فُلَ نٌ أَوْثَقُ النَّا سِ "  ( Fulan ialah manusia paling terpercaya ) atau 
 " أ ضْبَطُ النَّا سِ "( manusia paling kuat hafalan dan ingatannya ) atau" لَيْسَ لَهُ نَظِيْرٌ "  ( ia tidak ada tandingannya ), dan yang semisal. Ini merupakan bentuk pen- ta’dil-an yang berderajat paling tinggi.
2.        Tingkatan  kedua
Yakni penilaian dengan menyebut sifat yang menguatkan ketsiqqoh-annya, ke-‘adil-annya, atau ketetapan periwayatan, baik dengan menggunakan lafadz atau makana, seperti  " فُلَ نٌ ثِقَةٌ ثِقَةٌ "( Fulan orang yang sangat terpercaya ) atau  " ثِقَةٌ ثَبَتٌ "( terparcaya lagi teguh ), atau   " ثِقَةٌ حَا فِظٌ " ( terpercaya lagi hafizh ), dan sebagainya.
3.        Tingkatan ketiga
Yakin penilaian dengan menunjukkan adanya siafat tsiqoh tanpa disertai dengan penguatan seperti diatas, misalnya" فُلَ نٌ ثِقَةٌ "  (  Fulan orang terpercaya ) atau  " ثَبَتٌ " ( teguh ) atau   " حَا فِظٌ "  ( hafizh ) atau " حُجَّةٌ " ( hujjah ), dan yang serupa.
4.        Tingkatan keempat
Yakin penilaian menunjukan adanya sifat ‘adil tanpa adanya isyarat ketelitian atau kekuatan hafalan, seperti bila periwayatan hadist disifati dengan  " صَدُوْقٌ "( jujur ) atau
  " مَحَلُّهُ " ( ia tempatnya kejujuran ) atau" مَأ مُوْنٌ "  ( dipercaya ), atau  " لآ بَأ سَ بِهِ " ( tidak mengapa dengannya  ).

Istilah “ La ba’sa bihi “ masuk dalam tingkatan ini menurut selain Ibnu Ma’in. sebab jika Ibnu Ma’in menilai seseorang perowi dengan “ La ba”as bihi” maka yang dimaksudkann ialah perowari itu tsiqqoh. Ini karena, beliau dikenal sebagai ulama yang sangat ketat dalam menilai ( mutasyaddid ), sehingga lafadz yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ke-tsiqqoh-an perowari tersebut.
5.        Tingkatan kelima
Yakin penilaian yang tidak menunjukan pe-tsiqqoh-an ataupun celaan ( tajrih ), seperti " فُلَ نٌ شَيْخٌ "    ( Fulan seorang syaikh ) atau  " رَوَى عَنْهُ النَا سُ "( orang – oaring meriwayatkan hadis darinya ) dan yang semisal.
6.        Tingkatan keenam
Yakin penilaian yang mendekati dengan celaan ( jarh ), seperti  " صَا لِحُ الْحَدِيْثِ "( yang baik hadisnya ) atau  " يُكْتَبُ حَدِيْثَهُ "( ditulis hadisnya ) dan yang semisal.
Catatan.
ü  Untuk tiga tingkatan pertama ( No. 1,2 dan 3 ) hukumnya dapat dibuat sebagai hujjah, meskipun sebagaian diantaranya lebih kuat dari yang lain, yakin tingkatan pertama tentu  lebih kuat dari yang kedua, begitupula tingkatan kedua lebih kuat dari yang ketiga.
ü  Untuk tingkatan keempat dan kelima tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis dari mereka boleh ditulis, dan diuji ke-dhobith-an mereka dengan membandingkan hadis-hadismereka dengan hadis para periwayat tsiqqoh lain. Bila hadis mereka di dapati semua, maka bisa dijadihkan hujjah, dan jika tidak sesuai maka ditolak.
ü  Sedangkan untuk tingkat keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka bisa dituli untuk dijadikan pertimbangan, bukan untuk pengujian karena mereka tidak dhobith.

D.    Prinsip-prinsip penerapan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil

















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan



























DAFTAR PUSTAKA


Hassan, Qadir.  1982. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro.
Misbah A.B. 2010. Mutiara Ilmu Hadits. Kediri: Mitra Pesantren.
Mudasir, 2010. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Solahudin, 2008. Agus dan Agus Suyadi. Ulumul Hadist. Bandung: Pustaka Setia.
Suparta, Munzier. 2001. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.



[1] Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008).,h.105
[2]Ibid. h.109  
[3]Misbah A.B, Mutiara Ilmu Hadit, (Kediri: Mitra Pesantren,2010).,h.253
[4] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadist, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 157
[5] Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1982), h. 445
[6] Mudasir. Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia), 2010, cet. Ke-V, h. 50
[7] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op.cit., h. 157
[8] Munzier Suparta, Ilmu Hadis , (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h.31
[9] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op.cit., h. 158
[10] Munzier Suparta, Op.cit., h.32
[11] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op.cit., h. 158
[12]http://myquran.com/forum/showthread.php/8191-JARH-WA-TA-DIL-%28Men-cacat-kan-dan-meng-adil-kan-rawi%29
[13] Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1982), h. 447

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Labels

followers