Rabu, 25 April 2012

tasawuf


A.       Tasawuf  sebagai Media Meraih Kecerdasan Intelektual
Pada era moderenisasi seperti saat ini, kita dituntut untuk menjadi seorang muslim yang mampu mengembangkan inteleknya sehingga seorang muslim tersebut bisa memiliki kemampuan dialogis dan fungsional terhadap perkembangan IPTEK.
Secara prinsip tiada seorang pun yang dapat menafikan adanya konsep tasawuf dalam tradisi Islam. Tasawuf terbukti sangat berkesan dalam mendidik jiwa manusia, memberikan ketenangan hati dan mengisi kekosongan jiwa. Sehingga setelah memahami kepentingan tasawuf, banyak sarjana Muslim mengatakan bahwa ia adalah salah satu aspek penting ajaran Islam. Seyyed Hossien Nasr mengatakan bahwa tasawuf  serupa dengan nafas yang memberikan hidup. Tasawuf telah memberikan  semangatnya pada seluruh struktur Islam, baik dalam perwujudan sosial maupun intelektual.” Oleh karenanya, apabila tasawuf sudah masuk kedalam diri kita maka akan dapat mendatangkan kecerdasan intelektual.[1]
Tasawuf memberikan berbagai informasi yang kebanyakan mengenai ajaran-ajaran islam, yang mana ajaran tersebut bisa menjadikan media untuk kita dalam memperoleh kecerdasan intelektual. Ajaran–ajaran islam yang disampaikan di dalam tasawuf, yakni antara lain mengenai aqidah, Ibadah, dan juga Akhlak.
Tasawuf Aqidah yakni lingkup pembicaraan tasawuf yang menekankan masalah-masalah metafisis (hal-hal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap Tuhan, adanya Malaikat, Surga, Neraka dan sebagainya. Karena setiap Sufi sangat menekankan kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka memperbanyak ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan surga, dan tidak akan mendapatkan siksaan neraka.[2] 
Tasawuf Ibadah merupakan tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia Ibadah, sehingga di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia thaharah, rahasia sholat, rahasia zakat, rahasia puasa, rahasia haji dan sebagainya.[3]
Tasawuf akhlak yakni tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain: bertaubat, bersyukur, bersabar, bertawakal, dan bersikap ikhlas.[4]
2.     Tasawuf sebagai media meraih kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional, menurut Daniel Goleman, adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kecerdasan emosional mencakup kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial.[5]
Kesadaran diri berarti mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Pengaturan diri ialah menangani emosi sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas. Motivasi berarti menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran. Empati adalah merasakan yang apa dirasakan oleh orang lain. Kemudian keterampilan social adalah menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial.[6]
Dilihat dari perspektif sufistik unsur-unsur kecerdasan emosional itu juga ada dalam tasawuf. Misalnya kesadaran diri dalam tasawuf disebut muhasabah. Kemudian pengaturan diri dalam tasawuf banyak kesamaannya dengan sabar. Lalu motivasi dalam tasawuf banyak kesamaannya dengan raja’ (harapan atau optimisme). Kemudian mengenai empati dalam tasawuf ada itsar. Lalu tentang keterampilan sosial dalam tasawuf ada konsep syaja’ah. Dengan demikian,unsur-unsur  kecerdasan emosional juga ada dalam tasawuf , sehingga orang yang mengamalkan tasawuf dengan baik, maka ia juga cerdas secara emosional.
Bukan suatu hal yang berlebihan jika ita mengatakan bahwa para sufi adalah pakar ilmu jiwa sekaligus dokter jiwa. Kemudian jika kita ingin menguasai emosional kita maka kita harus menyentuh apa yang dinamakan ilmu tasawuf. Hal ini cukup beralasan mengingat dalam subtansi pembahasannya, tasawuf selalu membicarakan persoalan-persoalan yang berkisar mengenai jiwa manusia. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang selalu bahagia dalam dirinya karena ia dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan semua potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawanya pada kebahagiaan dirinya dan orang lain.[7]
Sedangkan golongan yang kurang sehat mentalnya sangatlah luas, mulai yang paling ringan sampai yang paling berat, dari orang yang merasa terganggu ketentraman hatinya sampai orang yang sakit jiwa. Gejala-gejala umum yang tergolong kurang sehat dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain : perasaan, pikiran, kelakuan, dan kesehatan.
Berbagai penyakit tersebut akan timbul pada diri manusia yang tidak tenang hatinya, yaitu hati yang jauh dari Tuhannya. Harus diakui, jiwa manusia sering sakit. Ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan  menuju Allah SWT.
Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, yang akan tampak dalam kepribadiannya adalah pribadi-pribadi yang tenang, dan prilakunya pun akan menampakkan perilaku atau akhlak-akhlak yang terpuji. Semua ini bergantung pada kedekatan manusia dengan Tuhannya.[8]
3. Tasawuf sebagai media meraih kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual, menurut Marsha Sinetar, adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan evektifitas yang terinspirasi, the is-ness atau penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita semua menjadi bagian.[9]
Orang yang tingkat kecerdasan spiritualnya tinggi adalah orang yang mengenal dirinya lebih baik. Ciri kecerdasan spiritual berikutnya adalah bersikap responsif pada diri yang paling dalam. Ciri kecerdasan spiritual selanjutnya ialah mampu memanfaatkan dan mentransendenkan kesulitan atau penderitaan.
Dilihat dari perspektif sufistik ciri-ciri kecerdasan spiritual itu juga terdapat pada tasawuf. Misalnya motif yang dalam, kecerdasan yang tinggi, dan sikap responsif terhadap diri menurut tasawuf dapat diwujudkan dengan berbagai cara, seperti tafakkur dan uzlah.[10]
Husen Nasr dalam Islam and the Pligh of Modern Man menyatakan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewasakan ilmu pengetahuan dan ilmu teknologi menjadikan mereka berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerek menjauh dari pusat, sementara pemahaman agama yang bedasarkan wahyu mereka tinggalkan, hidup dalam keadaan sekuler.[11]
Maka dalam hal ini tasawuf ingin memberikan solusi terhadap problema tersebut. Masyarakat yang lupa akan agama sesungguhnya mereka telah kehilangan visi keilahian yang mana hal ini bisa mengakibatkan timbulnya gejala psikologis, yakni kehampaan spiritual
Abu al-wafa al-Taftazani dalam The Role Sufisme mengklasifikasikan sebab-sebab kegelisahan masyarakat modern. Pertama, karena takut kehilangan apa yang dimiliki. Kedua, timbulnya rasa khawatir terhadap masa depan yang tidak disukai. Ketiga, disebabkan oleh rasa kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan kepuasan spiritual. Keempat, banyak melakukan dosa dan pelanggaran. Bagi at-Taftazani semua itu muncul dalam diri seseorang karena hilangnya keimanan dalam hati, menyembah kepada selain Allah SWT.[12]
Dalam pandangan tasawuf, penyelesaian dan perbaikan keadaan keadaan itu tidak dapat tercapai secara optimal jika hanya dicari dalam kehidupan lahir, karena kehidupan lahir hanya merupakan gambaran atau akibat dari kehidupan manusia yang digerakkan oleh tiga kekuatan pokok yang ada pada dirinya, yaitu akal, syahwat, dan nafsu amarah.
Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan masa depan manusia, seperti melakukan intropeksi baik dalam kaitannya dengan masalah-masalah vertical maupun horizontal, kemudian meluruskan hal-hal yang kurang baik. Selalu berdzikir kepada Allah SWT. Sebagai sumber Gerak, sumber kenormatifan, sumber motivasi dan sumber nilai yang dapat dijadikan acuan hidup. Dengan demikian, seseorang bisa selalu berada di atas Sunnatullah dan shirath al-mustaqim.[13]
Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat sebagai corak batin dalam ilmu fiqh. Corak batin yang dimaksud adalah iklas dan khusuk dalam menjalani suatu spiritual kepada Allah. Bahkan ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan manusia dalam melaksanakan hukum-hukum fiqh karena dalam pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.[14]
Kemudian dalam hal lain yaitu dalam kondisi spiritual sampai mencapai tingkat ma'rifah, seseorang akan merasa tak berdaya di hadapan Tuhan-Nya , kecuali ia hanya mampu  menyaksikannya.[15]
Kemudian dalam pembahasan dalam konteks lain yaitu ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Sebagai contoh ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat sama’ (mendengar), basar (melihat), qudrah (kuasa), dan sebagainya. Namun ilmu kalam ini tidak menjelaskan bagaimana seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah Mendengar dan Melihat. Lalu bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatau yang tercipta merupakan pengaruh qudrah (kekuasaan) Allah.
Allah telah memperingatkan beberapa kali bahwa akhirat itu lebih baik daripada dunia:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلُُ وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Harta benda yang menjadi kesenangan di dunia ini adalah sedikit saja, (dan akhirnya akan lenyap), dan (balasan) hari akhirat itu lebih baik lagi bagi orang-orang yang bertaqwa (kerana ia lebih mewah dan kekal selama-lamanya), dan kamu pula tidak akan dianiaya sedikit pun.” (al-Nisa’: 77)
Mencintai Tuhan berarti sepenuhnya terlibat dengan dunia yang Tuhan ciptakan bukan lari darinya. Pada hakikatnya dunia dijadikan oleh Allah sebagai tempat untuk manusia mengabdi, ia adalah tempat ujian untuk menguji keimanan hamba-hamba-Nya, sebagai tempat dan alat ia sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang netral.[16]
Seringkali kita melakukan perenungan tentang kehidupan diri kita. Dalam perenungan itu, merasakankah kita akan gejala kehidupan sosial kita yang kian hari kian terpuruk, bahkan kita telah terjebak ke dalam kondisi yang sangat kritis secara mental, moral dan spiritual? Mungkin kita tak sempat merenungkan itu semua, karena kita senantiasa sibuk dengan rutinitas yang berlarut dan memacu kita untuk berlomba dengan bayang-bayang semu yang tak akan pernah terkejar. Mungkin kita salah dalam cara pandang kita tentang diri kita yang menyebabkan kita juga salah menempatkan diri dan akhirnya salah bertindak. Akhirnya pengenalan diri yang salah ini tidak membawa manusia ke puncak kecerdasan spritualnya.
Menurut Jalaluddin Rakhmat kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna dalam kehidupan. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk tetap bahagia dalam situasi apa pun tanpa tergantung kepada situasinya. "Meminjam istilahnya Tony Buzan (ahli sitologi dari Amerika), kemampuan seseorang untuk berbahagia dalam segala situasi, berhubungan dengan kecerdasan spiritualnya" paparnya. Hanya saja menurut Jalaluddin di Indonesia kecerdasan spiritual lebih sering, diartikan rajin salat, rajin beribadah, rajin ke masjid, pokoknya yang menyangkut agama. Jadi kecerdasan spiritual dipahami secara keliru.[17]







[2]Mahjudin, Kuliah Akhlaq Tasawuf, (Jakarta Pusat: Kalam Mulia, 1996),hlm.149
[3]Ibid.hlm.150
[4]Ibid.hlm.151
[5] Sudirman tebba,tasawuf  Positif, (Bogor :Kencana,2003),hlm.11
[6] Ibid.,12
[7] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,  (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm.224
[8] Ibid., hlm. 226
[9] Sudirman tebba,tasawuf  Positif, (Bogor :Kencana,2003),hlm.19
[10]Ibid.hlm.23
[11] Amin Syukur, Menggugat  Tasawuf,  (Yogyakarta:Pustaka Pelajar , 2002), hlm. 112
[12] Amin Syukur, Menggugat  Tasawuf,  (Yogyakarta:Pustaka Pelajar , 2002), hlm. 113
[13] Ibid.hlm.114
[14] Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf,  (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 105
[15] Mahjuddin, akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia,2009)hlm.220

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Labels

followers