Rabu, 25 April 2012

muzara'ah


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Apabila kita perhatikan kehidupan masyarakat Indonesia yang agraris. Praktik pemberian imbalan atas jasa seseorang yang telah menggarap tanah orang lain masih banyak dilaksanakan pemberian imbalan ada yang cenderung pada praktek muzara’ah dan ada yang cenderung pada praktik mukhabarah. Hal tersebut banyak dilaksanakan oleh para petani yang tidak memiliki lahan pertanian hanya sebagai petani penggarap.
Muzara’ah dan mukhabarah ada Hadits yang melarang seperti yang diriwayatkan oleh (H.R Bukhari) dan ada yang membolehkan seperti yang diriwayatkan oleh (H.R Muslim).
Berdasarkan pada dua Hadits tersebut mudah – mudahan kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan oleh salah satu pihak, baik itu pemilik tanah maupun penggarap tanah
B.    Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Muzara’ah  itu?
2. Apa sajakah rukun dan syarat yang berlaku dalam Muzara’ah?
3. Bagaimana pandangan hukum islam terhadap Muzara’ah?
4. Hikmah apakah yang terkandung di dalam Muzara’ah?
C.    Tujuan
1. Memahami Muzara’ah dengan jelas.
2. Mengetahui secara jelas rukun dan syarat dalam Muzara’ah.
           3. Memahami bagaimana pandangan hukum islam tentang hukum Muzara’ah.
                 4. Mengetahui hikmah apa saja yang terkandung di dalamnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Muzara’ah
Menurut bahasa , muzara’ah  memiliki dua arti , yang pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melempar tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar), makna yang pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki. Muzara’ah yakni menyewa pekerja untuk bercocok-tanam pada sawah ladang itu dengan membayar sebagian dari hasil tanah itu[1]
Menurut bahasa, kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.[2]
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.[3]
Menurut istilah , muzara’ah didefinisikan oleh para ulama, seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, sebagai berikut:
1.     Menurut Hanafiyah, muzara’ah  ialah:
عَقْدٌ عَلىَ الزَّرْ عِ بِبَعْضِ الْخَا رِجِ مِنَ الْأَ رْضِ
Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi”.
2.     Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah:
اَنْ يَدْ فَعَ صَا حِبُ الْأَ رْ ضِ الصَّا لِحَةِ الْمُزِ ارَ عَةِ أَرْ ضَهُ لِلْعَا مِلِ الَّذِ ىْ يَقُوْ مُ يِزَ رْ عِهَا وَ بَدْ فَعُ لَهُ الْحُبَّ
Pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.
3.     Menurut Malikiyah muzara’ah ialah:
اَلشَّرْ كَةُ فِى الْعَقْدِ
Bersekutu dalama akad.”
Lebih lanjut dijelaskan , bahwa dari pengertian tersebut dinyatakan , muzara’ah adalah menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan.[4]
4.     Menurut dhair nash, al-syafi’i , muzara’ah ialah:
اكْتِرَا ء الْعَا مِلِ لِيَزْرَ عَ الْأَ رْ ضَ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا
Seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.”
Setelah diketahui definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa muzara’ah  yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola dan modalnya dikeluarkan dari pemilik tanah.[5]

B.    Dasar Hukum Muzara’ah
Imam hanafi dan Jafar tidak mengakui keberadaan muzara’ah dan menganggapnya fasid. Begitu pula Imam Syafi’i , tetapi sebagian ulama Syafi’iyah mengakuinya dan mengaitkannya dengan musayqah (pengelolaan kebun) dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan , tetapi mereka, tidak membolehkan mukhabarah sebab tidak ada landasan yang membolehkannya.[6]
Diantara alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiah Jafar, Imam Syafi’i adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jaber Ibnu Abdullah bahwa Rasulullah SAW melarang mukhabarah. Demikian pula hadist Ibnu Umar yang juga diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasulullah SAW melarang muzara’ah.[7]
Golongan ini berpendapat bahwa kerjasama nabi dengan orang Khaibar dalam mengelola tanah bukan termasuk mukhabarah atau muzara’ah, melainkan pembagian atas hasil tanaman tersebut dengan membaginya, seperti dengan sepertiga atau seper empat dari hasilnya yang didasarkan anugrah (tanpa biaya) dan kemaslahatan hal itu dibolehkan.
Abu Yusuf dan Muhammad (Sahabat Imam Abu Hanifah) , Imam Malik, Ahmad, dan abu Daud Az-Zahiri berpendapat bahwa muzara’ah diperbolehkan. Hal itu didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh jama’ah dari Ibnu Umar bahwa nabi SAW bermuamalah dengan ahli Khaibar dengan setengah dari sesuatu yang dihasilkan dari tanaman, buah-buahan maupun tumbuh-tumbuhan. Selain itu, muzara’ah dapat dikatagorikan perkongsian antara harta dan pekerjaan, sehingga kebutuhan pemilik dan pekerja dapat terpenuhi. Tidak jarang pemilik tidak dapat memelihara tanah, sedangkan pekerja mampu memeliharanya dengan baik, tetapi tidak memiliki tanah. Demikian sebagaimana dalam mukhabarah.
a.        Hukum Muzara’ah Shahih Menurut Hanafiyah
Menurut ulama hanafiyah hukum  muzara’ah shahih adalah sebagai berikut:
1.     Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
2.     Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
3.     Hasil yang diperoleh dibagikan bedasarkan kesepakatan waktu akad.
Antara lain didasarkan pada hadits:
المسلمو ن عند شروطهم (رواهالحاكم عن أ نس وعا ئشة)
Artinya: kaum muslimin bedasarkan syarat diantara mereka (HR.Hakim dari Annas dan Siti Aisyah)
4.     Menyiram atau menjaga tanaman,jika di syaratkan akan dilakukan bersama,hal itu harus dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan,penggarap lah yang paling bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman.
5.     Dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
6.     Jika salah seorang meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapat apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.  
b.        Hukum Muzara’ah Fasid Menurut Hanafiyah
Telah disinggung bahwa ulama syafi’iah melarang muzara’ah , jika benih dari pemilik ,kecuali bila dianggap sebagai musyaqah. Begitu pula jika benih dari penggarap,hal itu tidak boleh sebagaimana dalam musyaqah.
Dengan demikian hasil dari pemeliharaan tanah diberikan semuanya untuk pemilik, sedangkan penggarap hanya diberi upah. Diantara hukum-hukum yang terdapat dalam muzara’ah fasid adalah :
1.          Penggarap tidak berkewajiban mengelolah.
2.          Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
3.          Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannnya.

C.    Rukun dan Syarat Muzara’ah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun muzara’ah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan keridaan di antara keduanya.
Ulama hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah  tidak memerlukan qabul secara lafazh , tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal itu sudah dianggap qabul.
Tentang sifat muzara’ah , menurut ulama Hanafiyah , merupakan sifat-sifat  perkongsian yang tidak lazim. Adapun menurut ulama Malikiyah, diharuskan menaburkan benih di atas tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan menanam tumbuhan di atas tanah yang tidak ada bijinya. Menurut pendapat yang paling kuat, perkongsian harta termasuk muzara’ah dan harus menggunakan shighat.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa muzara’ah dan musyaqah adalah dua akad yang tidak lazim sehingga setiap yang melangsungkan  akad dapat membatalkan keduanya. Akad pun dapat dianggap batal jika salah seorang aqid meninggal dunia.
Syarat-syarat Muzara’ah
a.     Menurut Abu Yusuf dan Muhammad
Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Abu Hanifah), berpendapat bahwa muzara’ah memiliki beberapa syarat yang berkaitan dengan aqid (orang yang melangsungkan akad), tanaman, tanah yang ditanami, sesuatu yang keluar dari tanah, tempat akad, alat bercocok tanam, dan waktu bercocok tanam.
1.        Syarat aqid (orang yang melasungkan akad)
a.        Mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan baligh.
b.        Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama Hanafiyah tidak mensyaratkannya.
2.        Syarat Tanaman
Di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan kepada pekerja.
3.        Syarat dengan garapan
a.        Memungkinkan untuk digarap , yakni apabila ditanami tanah tersebut akan menghasilkan.
b.        Jelas.
c.        Ada penyerahan tanah.
4.        Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan
a.        Jelas ketika akad.
b.        Diharuskan atas kerja sama dua orang yang akad.
c.        Ditetapkan ukuran diantara keduanya, seperti sepertiga, setengah, dan lain-lain.
d.        Hasil dari tanaman harus menyeluruh di antara dua orang yang akan melangsungkan akad. Tidak dibolehkan mensyaratkan bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya mendapatkan sekedar pengganti biji.
5.     Tujuan akad
Akad dalam Muzara’ah harus didasarkan pada tujuan syara’ yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah.
6.     Syarat Alat Bercocok Tanam
Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau modern dengan maksud sebagai konsekuensi atas akad. Jika hanya bermaksud menggunakan alat, dan tidak dikaitkan dengan akad, muzara’ah dipandang rusak.
7.     Syarat Muzara’ah
Dalam muzara’ah diharuskan menetapkan waktu. Jika waktu tidak ditetapkan, muzara’ah dipandang tidak sah.
b.     Ulama Malikiyah
Syarat-syarat muzara’ah menurut ulama malikyah adalah:
a.     Kedua orang yang melangsungkan akad harus menyerahkan benih.
b.     Hasil yang diperoleh harus disamakan antara pemilik tanah dan penggarap.
c.      Benih harus berasal dari dua orang yang melangsungkan akad.
c.      Ulama Syafi’iyah
Ulama Syafi’iyah tidak mensyaratkan persamaan hasil yang diperoleh oleh kedua aqid dalam muzara’ah yang mengikuti atau berkaitan dengan musaqah. Mereka berpendapat bahwa muzara’ah adalah pengelola tanah atas apa yang keluar dari bumi, sedangkan benihnya berasal dari pemilik tanah.
d.     Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah sebagaimana ulama Syafi’iyah, tidak mensyaratkan persamaan antara penghasilan dua orang yang akad. Namun demikian, mereka mensyaratkan lainnya:
1.     Benih berasal adari pemilik, tetapi diriwayatkan bahwa Imam Ahmad membolehkan benih berasal dari penggarap.
2.     Kedua orang yang melaksanakan akad harus menjelaskan bagian masing-masing.
3.     Mengetahui dengan jelas jenis benih.

D.    Hikmah Muzara’ah
Kejayaan Islam bukanlah dongen atau cerita fiksi belaka, tetapi iu pernah terjadi dalam sejarah ber abad-abad yang lalu, dan pemikiran bagi umat, adalah sebuah kekayaan yang tidak ternilai harganya bagi manusia dalam kehidupan mereka, apabila mereka adalah umat yang baru lahir. Meskipun akhir-akhir ini mayoritas Islam mengalami penurunan dalam berbagai bidang (khususnya bidang ekonomi) dengan faktor penyebabnya antara lain sistem ekonomi yang kurang baik. Berdasarkan hal ini, kaum muslimin harus membangun pemikiran dan metode berfikir yang inovatif dalam diri mereka.[8]
Munculnya ekonomi Islam atau ekonomi Syari’ah dewasa ini telah membawa nama-nama pemikir Islam klasik muncul kembali, yaitu pemikiran dan gagasan ekonomi syari’ah tersebut. Nama-nama ekonomi muslim terpandang seperti Al- Farabi, Ibnu Sina, Abu Yusuf, Abu Udaid, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun dan Asy-Syaukani menjadi rujukan serta pijakan bagi perkembangan ekonomi Islam.
Ekonomi Islam yang muncul pada abad pertengahan awal abad 20 hingga dewasa ini telah menunjukkan eksistensinya. Bahkan, hampir sejajar dengan sistem ekonomi lainnya, seperti kapitalis dan sosialis. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya instrument-instrumen ekononomi yang menggunakan instrument ekonomi Syari’ah, seperti aqad syirkah, aqad qiradh, bai’al salam, dan aqad ijarah (leasing).
Dalam masalah muzara’ah disyari’atkan untuk menghindari adanya pemilik hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan, agar bisa dimanfaatkan oleh orang yang tidak punya hewan tetapi mempunyai keahlian untuk mengurusnya. Begitu pula bagi orang yang memilki tanah namun tidak sempat untuk menggarapnya, maka bisa digarap oleh orang lain agar tanah tersebut berdaya guna. Dalam muzara’ah  terdapat pembagian hasil untuk hal-hal lainnya yang disesuaikan dengan syirkah, yaitu konsep kerjasama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan.
Hikmah yang terkandung dalam muzara’ah adalah saling tolong menolong (ta’awun), di mana antara pemilik tanah dan yang menggarapnya saling diuntungkan. Hikmah lain dari muzara’ah  adalah tidak terjadi adanya kemubadziran baik tanah maupun ternak, yakni tanah yang kosong bisa digarap oleh orang yang membutuhkan, begitu pun pemilik tanah merasa diuntungkan karena tanahnya tergarap.[9]
Hikmah yang lainnya dari masalah muzara’ah adalah menimbulkan adanya rasa keadilan dan keseimbangan. Keadilan dapat menghasilakan keseimbangan dalam perekonomian dengan meniadakan kesenangan antara pemilik modal (orang kaya) dengan pihak yang membutuhkan (orang miskin). Walaupun tentunya Islam tidak menganjurkan kesamaan ekonomi dan mengakui adanya ketidaksamaan ekonomi antara orang perorang.


























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Muzara’ah  memiliki dua arti , yang pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melempar tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar), makna yang pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki. Muzara’ah yakni menyewa pekerja untuk bercocok-tanam pada sawah ladang itu dengan membayar sebagian dari hasil tanah itu. Hukum muzara’ah shahi menurut hanafiyah adalah sebagai berikut: Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap, pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah, hasil yang diperoleh dibagikan bedasarkan kesepakatan waktu akad, menyiram atau menjaga tanaman,jika di syaratkan akan dilakukan bersama,hal itu harus dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan,penggarap lah yang paling bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman, dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan, jika salah seorang meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapat apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu. 
Hukum Muzara’ah Fasid Menurut Hanafiyah. Telah disinggung bahwa ulama syafi’iah melarang muzara’ah , jika benih dari pemilik ,kecuali bila dianggap sebagai musyaqah. Begitu pula jika benih dari penggarap,hal itu tidak boleh sebagaimana dalam musyaqah. Dengan demikian hasil dari pemeliharaan tanah diberikan semuanya untuk pemilik, sedangkan penggarap hanya diberi upah. Diantara hukum-hukum yang terdapat dalam muzara’ah fasid adalah : Penggarap tidak berkewajiban mengelolah, hasil yang keluar merupakan pemilik benih, jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannnya.
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun muzara’ah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan keridaan di antara keduanya. Ulama hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah tidak memerlukan qabul secara lafazh , tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal itu sudah dianggap qabul. Ulama Syafi’iyah tidak mensyaratkan persamaan hasil yang diperoleh oleh kedua aqid dalam muzara’ah yang mengikuti atau berkaitan dengan musaqah. Mereka berpendapat bahwa muzara’ah adalah pengelola tanah atas apa yang keluar dari bumi, sedangkan benihnya berasal dari pemilik tanah. Ulama Hanabilah sebagaimana ulama Syafi’iyah, tidak mensyaratkan persamaan antara penghasilan dua orang yang akad. Namun demikian, mereka mensyaratkan lainnya: Benih berasal adari pemilik, tetapi diriwayatkan bahwa Imam Ahmad membolehkan benih berasal dari penggarap, Kedua orang yang melaksanakan akad harus menjelaskan bagian masing-masing, Mengetahui dengan jelas jenis benih.
Hikmah yang terkandung dalam muzara’ah adalah saling tolong menolong (ta’awun), di mana antara pemilik tanah dan yang menggarapnya saling diuntungkan. Hikmah lain dari muzara’ah adalah tidak terjadi adanya kemubadziran baik tanah maupun ternak, yakni tanah yang kosong bisa digarap oleh orang yang membutuhkan, begitu pun pemilik tanah merasa diuntungkan karena tanahnya tergarap.















DAFTAR PUSTAKA

Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bn Muhammad Al Husni, 2003, Kifayatul Akhyar, Surabaya: Bina     Iman.
Rachmat Syafei, 2001, Fiqh Muamalah, Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Sohari Sahrana, Ru’fah Abdullah, 2011, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia.
https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:ZpkiOK2o9cwJ:images.tiekha05.multiply.multiplycontent.



[1]Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bn Muhammad Al Husni, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina     Iman,2003),707
[2]https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:ZpkiOK2o9cwJ:images.tiekha05.multiply.multiplycontent.
[3] Sohari Sahrana, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),213
[4] Ibid.,214
[5]Ibid.,215
[6] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), 206
[7]Ibid.,207
[8] Sohari Sahrana, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),217
[9] Ibid,218

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Labels

followers