Selasa, 29 Mei 2012

fiqh munakahat


PERKAWINAN – PERKAWINAN PADA ZAMAN JAHILIYAH
Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“ Fiqh 3 ”






Dosen pembimbing:
Dr. Husni M. Saleh, M.Ag

Disusun Oleh:
Moh. Ali Mashudi                       D01210057
Masrurotul Ulva                          D71210130
Evi Fitriyani                                 D71210138
Riski Agustina                             D71210141

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
2012
A.  Perkawinan - Perkawinan pada Zaman Jahiliyah

1.     Al-Istibdha’

Praktik perkawinan semacam ini bertujuan mencari bibit unggul sebagai keturunan. Caranya, suami memerintahkan istrinya untuk tidur seranjang dengan laki-laki yang gagah perkasa, kaya dan pandai. Harapannya agar anak yang dilahirkannya nanti dari hasil hubungan seks menjadi sama dan setidaknya meniru jejak dan karakter sang ayah. Meskipun, ayahnya itu bukanlah suaminya yang sah. Suami memerintah istrinya ketika sang isteri suci dari haidhnya: “Pergilah engkau kepada si fulan (biasanya adalah seorang yang tampan / bagus rupanya, dsb), dan kumpullah engkau dengannya (yakni jima’)”. Setelah itu suami yang pertama tadi tidak akan menyentuhnya sama sekali sampai jelas bahwa si isteri itu hamil dari laki-laki tersebut. Jika telah nyata hamil maka si laki-laki yang terakhir ini dapat memiliki isteri itu, jika ia mau.

Adat perkawinan semacam ini banyak ditemui di kalangan penduduk kota Kabul, Turki, dan Sparta. “Di Sparta, masyarakat akan mencemooh kaum laki-laki sebagai suami yang cemburu pada sang istrinya yang melakukan kebiasaan seperti itu,” tulis Maftuhin Asyharie dalam bukunya, Sebelas Istri Rasulullah saw (2002).[1]

2.     Al-Mukhadanah

Perkawinan ini tak ubahnya dengan poliandri. Poliandri adalah Satu orang perempuan memiliki banyak suami. Si perempuan melayani semua laki-laki tadi dan kalau nanti hamil maka salah satu dari laki-laki yang menggauli harus mengakui bahwa anak yang dikandung si perempuan adalah anaknya. Sedangkan siapa yang mau dijadikan bapak dari anaknya tergantung pilihan perempuan.
Dan biasanya penunjukan ayah dari jabang bayi setelah jabang bayi lahir.
Pada umumnya banyak terjadi di negeri Yaman. Di negeri itu terkenal sebutan Ar-Ranth. Selain Yaman, juga terjadi diTurkistan, Siberia, India Selatan, Srilangka, Vietnam dan di bagian benua Afrika.

3.     Asy-Syighar
Kata-kata Shigar yang berasal dari bahasa arab secara arti kata berarti menangkat kaki dalam konotasi yang tidak baik, seperti anjing mengangkat kakinya waktu kencing. Bila dihubungkan dengan kata “kawin” dan disebut kawin syighar  mengandung arti yang tidak baik, sebagaimana tidak baiknya pandangan terhadap anjing yang mengangkat kakinya waktu kencing itu.[2]
Dalam arti definitive ditemukan artinya dalam hadist nabi dari Nafi’ Ibnu Umar :

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم الشغار. الشغار ان يتزوج الرجال ابنته على ان يتزوجه الاخر ابنته وليس بينهما صداق.

            “Rasul Allah melarang perkawinan kawin Shigar. Shigar itu ialah seorang laki-laki mengawinkan anaknya dengan catatan laki-laki lain mengawinkan anaknya pula kepadanya dan tidak ada diantara keduanya mahar”.[3]
            Dalam bentuk perkawinan tersebut yang menjadi maharnya adalah perbuatan mengawinkan anaknya yang dirasakan oleh orang yang mengawini itu. Kedua anak perempuan yang dikawinkan oleh walinya itu sama sekali tidak menerima dan merasakan mahar dari perkawinan tersebut, padahal keberadaan mahar semestinya untuk perempusan yang dikawinkan itu, bukan untuk wali yang mengawinkannya. Yang tidak terdapat dalam perkawinan itu adalah mahar secara nyata dan adanya syarat untuk saling mengawini dan mengawinkan. Oleh karena itu, perkawinan dalam bentuk ini dilarang, baik di dalam hokum positif maupun didalam hokum Islam sendiri.
Bentuk dan praktik perkawinan ini ialah, kedua orangtua dari kedua mempelai, menukarkan kedua anak laki-laki dan perempuannya, masing-masing memberikan mas kawin kepada anaknya sendiri. Dalam perkawinan ini, si A mengawinkan anak perempuannya kepada si B, dengan syarat si B harus mengawinkan anak perempuannya kepada si A. Tetapi, dalam perkawinan ini, kedua-duanya tidak memakai mas kawin.
Dalam perkawinan Syighar ini tidak hanya dilakukan oleh sang ayah terhadap anak perempuannya saja, tetapi dilakukan oleh saudara lelakinya terhadap saudara perempuannya yang berada di bawah kekuasaannya. Jadi, kawin Syighar itu bukan hanya bertukar anak, tetapi bertukar saudara.
Sedangkan hukum kawin syigar disini adalah ulama sepakat tentang keharaman hukum perkawinan shigar, karena jelas adanya larangan Nabi tersebut diatas dan nabi pun menjelaskan ‘illat hukumnya, yaitu tidak terdapat mahar dalam perkawinan tersebut sedangkan mahar itu merupakan salah satu syarat dalam perkawinan.
Tentang sahnya perkawinan yang dilakukan dalam bentuk shigar ini terdapat beda pendapat dikalangan ulama’. Perbedaan pendapat tersebut didasarkan kepada dua pandangan. Pertama, tidak bolehnya perkawinan shigar itu disebabkan oleh larangan itu sendiri. Setiap larangan menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang itu kalau dikerjakan. Berdasarkan pandangan ini perkawinan shigar temasuk perkawinan yang tidak sah. Jumhur ulama’ bependapat seperti ini.[4] Kedua, dilarangnya perkawinan shigar tersebut karena alas an yang terdapat didalamnya, yaitu tidak adanya mahar atau maskawin. Berdasarkan pandangan ini, maka yang tidak sah dalam perkawinan tersebut adalah maharnya, bukan perkawinan iu sendiri, sebab perkawinannya sudah memenuhi semua rukun perkawinan. Bila maharnya tidak sah, maka sebagai penggantinya adalah mahar mithl (maskawin pengganti yang disesuaikan dengan keadaan dari sii peremuan). Pendapat ini dipegang oleh ulama Hanafiyah dan beberapa fuqaha, seperti ‘Ata, Makhlul, al-Zuhri, dan al_thaury.[5]

4.     Perkawinan Warisan
Perkawinan ini terjadi karena ada anggapan bahwa seorang istri itu tidak lebih dari barang warisan yang dapat diberikan kepada siapa saja yang mengendaki. Jadi, saudara suami dapat mewarisi jika suaminya telah meninggal. Istri yang ditinggalkan mati suaminya itu tidak berhak menolak atau kembali pada keluarganya sebelum sang saudara suami itu datang dan memperbolehkan kembali pada keluarganya. Begitu pula bila sang ayah meninggal dunia, anak sulungnya berhak mengawini istri ayahnya yang bukan ibu kandungnya. Perkawinan model ini banyak dilakukan di Persia.

5.     Perkawinan Mut’ah
Bentuknya semacam kawin kontrak. Dalam perkawinan ini ditentukan waktunya dan syaratnya. Perkawinan ini akan berakhir apabila waktunya habis berdasarkan syarat yang ditentukan sebelumnya. Menurut berbagai kalangan, perkawinan semacam ini haram hukumnya.
Dikenal pula kawin Muth'ah atau kawin untuk sementara. Dalam perkawinan ini, seorang lelaki mengawini seorang wanita dengan pernjanjian hanya sementara waktu saja, dan apabila sudah cukup waktunya, maka wanita tersebut diceraikannya. Sebab, perkawinan ini hanya untuk pelampiaskan nafsu dan bersenang-senang dalam sementara waktu belaka.
Dalam perkawinan Muth'ah pihak lelaki tidak diwajibkan membayar mas kawin kepada wanita yang dikawininya, juga tidak memberikan belanja untuk keperluan hidupnya. Wanita tidak berhak mendapat harta pusaka dari suaminya serta tidak ada iddah sesudah diceraikan dan lain sebagainya. Hanya cukup sang suami memberikan kain dan barang apapun sebagai upahan, tetapi wanita berkewajiban memelihara hak milik suaminya dan mengurus semua kepentingannya.
Tiga dari empat pola hubungan seksual diatas dihapus oleh syari’ah Islam sebab sifatnya yang keji dan tidak bermartabat layaknya binatang, mengacaukan garis nasab dan merusak fitrah dan kecenderungan manusiawi. Begitu juga halnya dengan praktek kawin Syighar, Sifah dan Muth’ah.
Perkawinan Muth'ah pada zaman permulaan Islam pernah berlaku sementara waktu, yaitu untuk kaum Muslimin yang pergi ke luar daerah untuk beberapa bulan lamanya dengan tidak membawa istrinya, atau untuk yang pergi berperang ke suatu daerah yang di sana tidak ada sanak kerabatnya sekedar disinggahi. Setelah itu perkawinan muth’ah mutlak diharamkan hingga hari kiamat.
Tetapi pola keempat tetap dipertahankan sebagai bentuk perkawinan yang mengantarkan kepada hubungan kelamin yang halal, bersih, sehat, bermartabat, mulia dan terhormat. Islam melanggengkan praktek ini dan menganjurkan orang beriman menikah dan meraih ketentraman hidup melalui pasangannya.
6.     Perkawinan semacam pelacur
Perkawinan yang terjadi ketika seorang laki-laki berhubungan dengan perempuan yang bukan istrinya, lantas memberi imbalan. Jika tidak memakai imbalan, maka dinamakan perzinaan. Perzinaan ialah percampuran antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan istrinya. Biasanya dilakukan tanpa memakai imbalan. Terjadi suka sama suka. Pada rumah perempuan itu biasanya dikibarkan bendera, yang menandakan di dalam rumah itu disediakan wanita bersangkutan. Jika wanita itu melahirkan anak, ia berhak meminta pertanggungjawaban pada laki-laki yang mirip dengan wajah anaknya.
Dikenal pula dengan istilah kawin Sifah, yaitu kawin yang tidak menurut peraturan agama atau katakanlah; perkawinan lacur, melakukan perzinahan dengan wanita-wanita pelacur.
Di zaman Jahiliyah, perkawinan Sifah itu ialah orang laki-laki datang kepada wanita yang hendak dicampuri dirinya dengan tidak menolak siapapun lelaki itu. Di depan pintu rumah-rumah wanita-wanita itu telah ditaruh bendera sebagai tanda bahwa mereka telah siap menerima tamu lelaki yang berhajat kepadanya. Apabila di antara wanita itu ada yang melahirkan anak, maka dipanggillah seorang dukun untuk kemudian diperiksalah para lelaki yang pernah bersenggama dengannya.
Setelah dilihat dan diperiksa dengan teliti raut muka anak dan lelaki yang pernah menggaulinya itu, dan terdapat ada kesamaan atau kemiripan dari salah seorang di antara mereka, lalu diserahkan anak itu kepadanya, dengan catatan ia tidak boleh menolak. Model ini mirip sekali dengan pola kedua dan ketiga dalam riwayat Aisyah ra seperti dikemukakan di atas.
Menurut keterangan lain, bahwa yang dinamakan kawin Sifah itu ialah, orang-orang Arab di zaman Jahiliah biasa melakukan perkawinan secara liar dengan wanita-wanita budak, tidak dengan wanita merdeka.
7.     Perkawinan tukar-menukar istri
Di masa jahiliyah juga dikenal tukar menukar istri. Terjadi untuk beberapa waktu tertentu. Adat tukar-menukar istri ini terjadi dan berlaku di kalangan beberapa suku di Afrika, penduduk Hawai dan Tibet. Tradisi perkawinan tukar-menukar istri tersebar juga ke negeri Paris.

8.     Perkawinan keroyokan
Sekelompok lelaki, kurang dari 10 orang, semuanya menggauli seorang wanita. Bila telah hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut tidak seorangpun boleh absent. Kemudian ia menunjuk salah seorang yang dikehendakinya untuk di nisbahkan sebagai bapak dari anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Dan biasanya penunjukan ayah dari jabang bayi setelah jabang bayi lahi.

9.     Perkawinan syar’iy/ ihshan’
Model perkawinan ini tidak ada ubahnya dengan perkawinan yang sekarang terjadi, yaitu dengan cara melamar kepada si wali wanita yang akan dinikahi kemudian dilanjutkan dengan pernikahan dengan acara ijab qobul dan pemberian mahar kepada mempelai wanita.

10.  Kawin Misyar
Kawin misyar adalah model perkawinan yang muncul pertama kali di Mesir, kemudian berkembang pesat di kalangan masyarakat Timur Tengah. Kawin misyar ini pertama kali dibahas oleh Qardhawi dalam kitabnya yang berjudul Zawaj al-Misyar Haqiqatuh wa Hukmuh. Al-Qardhawi menjelaskan behwa definisi yang tepat untuk kawin misyar ini tidak ada, tetapi setelah dilihat secara kebahasaan maka ia menyimpulkan bahwa kawin misyar adalah perkawinan yang dilakukan oleh wanita yang kaya raya yang tidak sempat memikirkan untuk kawin, ia melebihi usia sempurna untuk melakukan perkawinan, mencari laki-laki rupawan dan gagah yang mau kawin dengan dirinya dan si laki-laki tersebut tidak dikenakan kewajiban membayar nafkah, menyediakan tempat tinggal dan lain sebagainya, bahkan tidak wajib tinggal satu rumah. Pihak laki-laki hanya berkewajiban memuaskan si perempuan dan setelah itu bisa ppulang ke rumahnya sendiri, tapi jika dikemudian hari si wanita itu membutuhkan dia, maka dia harus dating sesuai dengan permintaan dari si wanita tersebut.[6]
Imam Bukhori meriwayatkan dalam sebuah hadist yang diceritakan melalui istri Nabi, Aisyah ra, bahwa pada jaman jahiliyah telah ada dikenal empat pola hubungan seksual (pernikahan).
Pertama, Seorang suami memerintahkan istrinya jika telah suci dari haid untuk berhubungan badan dengan pria lain. Bila istrinya telah hamil, ia kembali lagi untuk digauli suaminya. Ini dilakukan guna mendapatkan keturunan yang baik.
Kedua, sekelompok lelaki, kurang dari 10 orang, semuanya menggauli seorang wanita. Bila telah hamil kemudian melahirkan, si wanita memanggil seluruh lelaki yang telah menggaulinya dan tidak seorangpun boleh absen. Kemudian ia menunjuk salah seorang yang dikehendakinya untuk di nisbahkan sebagai bapak dari anak itu dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak.
Ketiga, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila yang memasang bendera/tanda di pintu-pintu rumah. Dia “bercampur” dengan siapapun yang disukai.
Keempat, ada juga model perkawinan sebagaimana berlaku sekarang. Dimulai dengan pinangan kepada orang tua/wali, membayar mahar, dan menikah.


DAFTAR PUSTAKA

Kamal Mukhtar, 1993. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta : Bulan Bintang.
Nasiri, 2010. Hebohnya Kawin Misyar. Surabaya : Al Nur.
Qasim Ibnu, 1996. Hashiyah al-Sharwani . Beirut : Dar al-Fikr.



[1] http://ngawadul.wordpress.com/2011/03/22/macam-macam-perkawinan-zaman-jahiliyah/

[2]  Mukhtar Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), 67.
[3]  Nasiri, Hebohnya Kawin Misyar ( Surabaya : Al Nur, 2010), 31.
[4] Ibnu Qasim al-Ibadi, Hashiyah al-Sharwani (Beirut : Dar al-Fikr, 1996), 109.
[5] Ibid, 110.
[6] Nasiri, Hebohnya Kawin Misyar ( Surabaya : Al Nur, 2010), 35.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Labels

followers