Selasa, 01 Mei 2012

ontologi alam menurut ibnu sina

ONTOLOGI ALAM MENURUT IBN SINA
Ontologi mengenai alam menurut Ibn Sina berkenaan dengan Wujud, dengan kata lain Ibn Sina menjelaskan alam dengan menggunakan pendekatan konsep Wujud. Ibn Sina membagi Wujud kedalam tiga kategori diantaranya; Wujud Niscaya (Wajib Al-Wujud), Wujud Mungkin (Mumkin Al-Wujud), dan Wujud Mustahil (Mumtani’ Al-Wujud)[1].
Wujud Niscaya merupakan Wujud yang senantiasa harus ada, dan tidak boleh tidak ada, atau tidak bisa dibayangkan tidak adanya. Sedang Wujud Mungkin adalah Wujud yang boleh saja ada ataupun tidak ada, atau dapat dibayangkan tidak adanya dan Wujud Mustahil (Mumtani’ Al-Wujud) adalah yang keberadaannya tidak terbayangkan adanya,
Ibn Sina berpendapat bahwasannya alam yang kita saksikan ini, boleh ada ataupun tiada. Kedua keadaan itu sah-sah saja menurut akal. Maka alam menurut Ibn Sina merupakan sesuatu yang keberadaannya Mumkin Al-Wujud atau bersifat wujud mungkin. Terma “mungkin” sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn Sina memiliki pengertian yang mendalam. Dalam kasus ini, terma “mungkin” dipahami sebagai “potensial”. Dengan mengatakan bahwa alam itu berarti bahwa sifat dasar alam adalah potensial, boleh ada tetapi belum lagi ada, dan tidak bisa mengada dengan sendirinya.[2] Untuk memahami hal tersebut, kita ambil sebuah pemisalan. Seorang wanita muda yang sehat, bisa dikatakan potensial untuk hamil, tetapi dia tidak bisa hamil dengan sendirinya. Begitulah makna “mungkin” yang dimaksud oleh Ibn Sina.dengan pengertian “mungkin” di atas, kita dikatakan bahwa alam akan senantiasa berada dalam keadaan “potensi” atau berkemungkinan untuk ada.

EPISTIMOLOGI ALAM MENURUT IBN SINA
Untuk menjawab skeptisisme yang berkutat pada alam semesta, mengenai qadim atau hudust kah alam itu? Bagaimanakah alam ada? Dimana semua yang dibingungkan diatas itu merupakan dilemma pokok yang dibahas para ahli kalm dan filosogf pada waktu itu.
            Para filosof terdahulu berpegang pada pendapat yang diwarisi dari orang yunani, bahwa alam adalah qadim (azali) sebagaiman yang dengan tegas dinyatakan oleh Aristoteles dan kurang begitu tegas dinyatakan oleh Plato dan Plotinus. Plato dalam dialognya idea of good. Dan Plotinus mengusung teori emanasi (faidh) atau perlimpahan. Semacam teori Wahdah Al-Wujud (Pantheisme).[3]
            Dalam menghadapi teori-teori filosof yunani tersebut diatas, berbagai macam respon dari filosof  Islam, hingga muncullah pro dan kontra dikalanga filosof Islam. Golongan yang kontra berasumsi bahwa Tuhan sama sekali tidak sama dengan makhluk-Nya (mukhalafatu lil hawadits) dengan mereka menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam dari tketiadaan.[4] Al Farabi sefaham dengan Plotinus yang mengusung konsep emanasi,  oleh karenanya Al Farabidikenal sebagai filosof Islam yang emanasionist, kendatipun demikian dia tetap berusaha menafsirkan dengan penafsiran yang tidak mengingkari kekuasaan Tuhan yang dapat menciptakan sesuatu. Tidak jauh berbeda dengan Al Farabi, Ibn Sina juga menjelaskan penciptaan alam dengan emanasi. Perbedaan pendapat antara Ibn Sina dan Al Farabi tentang asal-usull terjadinya alam hanya terbatas pada beberapa soal perincian. Menurut Al Farabi ada dua macam ta’aqqul (pengertian akal) sebagai asal-usul timbulnya akal yang lain dan benda-benda cakrawala. Misal, karena “yang ketiga” mengerti akan zatnya sendiri maka dari situlah timbul “akal keempat” yang dari ke-substansian-nya pada zatnya sendiri timbullah bintang-bintang yang tetap. Sedang menurut Ibn Sina Perlimpahan-lah yang menjadi sebab timbulnya “pergandaan” (multiplicity, katsrah) secara “ tiga-tiga“ bukan secara “dua-dua”.


[1] Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), h.34
[2] Ibid, h. 34
[3] _______, Filsafat Islam, h. 111
[4] Ibid, h.112

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Labels

followers